Proses Terbentuknya Hujan
Proses yang terjadi dalam pembentukan hujan
dikenal dengan siklus hidrologi. Siklus
hidrologi adalah suatu proses dimana air diangkut dari permukaan bumi ke atmosfer (udara), dan
kembali lagi ke permukaan bumi. Sinar matahari menyebabkan air yang ada di
permukaan bumi berubah wujud menjadi uap melalui proses evaporasi. Uap
ini nantinya bergerak naik, kemudian akibat perbedaan temperatur di atmosfer dari
panas menjadi dingin maka air akan terbentuk akibat kondensasi dari uap menjadi
cairan. Bila temperatur berada di bawah titik beku ( freezing point) maka kristal-kristal es yang akan terbentuk
(Neiburger dkk., 1995).
Tetesan
air kecil tumbuh melalui kondensasi dan tumbukan dengan tetesan air lainnya
lalu terbawa oleh gerakan udara turbulen sampai pada kondisi yang cukup besar
menjadi butir-butir air. Apabila jumlah butir air sudah cukup banyak dan berat
(dipengaruhi oleh gravitasi) maka butiran akan turun ke permukaan bumi dan
proses turunnya butiran air ini disebut dengan hujan. Bila temperature udara turun
sampai di bawah 0ºC, maka butiran air akan berubah menjadi salju (Salby, 2012).
Hujan
terbentuk karena proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang
cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di permukaan. Tidak semua air hujan
sampai ke permukaan bumi karena sebagian menguap ketika jatuh melalui udara
kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga. Hujan biasanya terjadi karena
pendinginan suhu udara atau penambahan uap air ke udara.
Proses pembentukan hujan dapat berupa proses tumbukan atau proses kristal
es (proses bergeron). Pada proses
tumbukan (Gambar 2.1), butiran-butiran kecil awalnya menumbuk butiran-butiran
kecil lainnya dan kemudian bergabung menjadi satu butiran. Penggabungan ini
menyebabkan massa butiran tadi bertambah sehingga semakin besar dan membesar
sampai ukuran butiran ini cukup kuat untuk melawan gaya pergerakan angin ke
atas. Pembentukan butiran hujan dengan proses tumbukan ini biasanya hanya
terjadi pada awan hangat. Awan hangat berada pada daerah tropis di dekat garis
khatulistiwa.
Gambar 2.1 Proses penggabungan pada
butiran hujan (Sumber:http://www.physics.by
u.edu/faculty/christensen/physics%20137/Figures/Precipitation/Collision-Coalesce
nce%20Process.htm).
Proses lainnya yaitu proses
kristal es (Gambar 2.2), yang biasa terjadi pada awan dingin. Awan dingin biasa
berada pada daerah subtropis atau daerah dengan lintang menengah sampai dengan
lintang tinggi. Suhu di dalam awan dingin biasanya di bawah tingkat beku air
(< 0 oC) karena itu molekul air yang ada pada awan ini sangat dingin. Pada
proses ini terjadi interaksi antara kristal es dengan molekul air yang sangat
dingin. Tekanan jenuh es pada suhu di bawah 0 oC lebih kecil daripada air dalam
fase cair, karena itu kristal es mengikat molekul air lebih kuat. Hal ini
menyebabkan evaporasi pada air dari butiran awan yang sangat dingin dan
mengendap menjadi kristal es. Kristal es ini akan semakin membesar dan membesar
sampai cukup berat untuk jatuh. Ketika jatuh kristal es ini akan menumbuk
butiran-butiran air yang sangat dingin di jalurnya. Proses tumbukan ini membuat
butiran air yang sangat dingin bergabung menjadi kristal es yang lebih besar.
molekul
air yang sangat dingin. Tekanan jenuh es pada suhu di bawah 0 oC lebih
kecil
daripada air dalam fase cair, karena itu kristal es mengikat molekul air lebih
kuat.
Hal ini menyebabkan evaporasi pada air dari butiran awan yang sangat
dingin
dan mengendap menjadi kristal es. Kristal es ini akan semakin membesar
dan
membesar sampai cukup berat untuk jatuh. Ketika jatuh kristal es ini akan
menumbuk
butiran-butiran air yang sangat dingin di jalurnya. Proses tumbukan
ini
membuat butiran air yang sangat dingin bergabung menjadi kristal es yang
lebih
besar.
Gambar
2.2 Proses pembentukan kristal es akibat pengendapan uap air (Sumber:
http://www.physics.byu.edu/faculty/christensen/physics%20137/Figures/Precipitati
on/Ice-Crystal%20Process.htm)
2.2 Mikrofisika Hujan
2.2.1 Raindrop
Size Distribution ( RDSD)
Raindrop
Size Distribution (DSD) adalah distribusi butiran hujan pada ukuran
tertentu per satuan volume sampel atau daerah pengamatan dalam rentang waktu
tertentu (Jameson dan Kostinski, 2001). Pengukuran DSD dilakukan pertama kali
oleh Marshall dan Palmer (1948) dengan mengamati distribusi butiran hujan yang
jatuh pada suatu kertas dyed filter.
Pengukuran terbaru dilakukan dengan menggunakan berbagai sensor, salah satunya
adalah sensor optik. Dewasa ini DSD memiliki banyak perhatian karena bentuk
distribusinya yang merefleksikan dasar-dasar mikrofisika hujan sehingga pemodelannya dapat dimanfaatkan
dalam banyak aplikasi.
DSD
telah dimodelkan dengan berbagai pemodelan. Model DSD pertama kali diajukan
oleh Laws dan Parsons (1943). Mereka mengemukakan sebuah hubungan antara median diameter DSD
dengan R sebagai berikut:
(2.4)
dimana R adalah intensitas curah hujan dalam
mm/h.
Kemudian
dilanjutkan lagi oleh Marshall dan Palmer (1948) yang memodelkan DSD dengan
distribusi eksponensial dengan bentuk:
exp
(2.5) dimana
N( D) adalah fungsi DSD (mm-1 m-3) atau
konsentrasi butiran per
diameter
interval ΔD (mm), D adalah diameter butiran hujan (mm),
adalah
parameter intercept bernilai 8000 mm-1
m-3, Λ adalah parameter slope (mm-1) . Λ cenderung meningkat sebanding dengan
meningkatnya intensitas curah hujan, ditulis dengan persamaan:
(2.6)
Feingfold
dan Levin (1986) mengatakan bahwa model ekponensial mempunyai banyak
kekurangan. Kekurangan dari persamaan distribusi di atas adalah kecenderungan
untuk menaksir terlalu tinggi jumlah butiran-butiran ukuran kecil (< 2 mm).
Ulbrich (1983) telah membuat suatu pendekatan yang lebih akurat untuk
memodelkan DSD, dengan menganggap DSD merupakan suatu fungsi distribusi gamma.
Distribusi gamma ini memiliki tiga parameter distribusi dituliskan sebagai
berikut:
exp
(2.7a)
Persamaan (2.4a)
dapat dihubungkan dengan jumlah total butiran
sebagai
berikut:
exp
(2.7b)
(2.8)
dimana N0 dan NT adalah parameter intercept
dengan satuan mm-1-µ m-3 dan m-3
berturut-turut. Dalam penelitian ini digunakan Persamaan (2.4b) karena
parameter NT tidak dipengaruhi oleh parameter bentuk ( shape) µ berbeda dengan N0
yang merupakan fungsi µ yang terlihat
dengan jelas dari satuannya.
merupakan
parameter slope dari distribusi dalam
satuan mm-1. Persamaan gamma dapat menjelaskan semua bentuk RDSD
dibandingkan fungsi eksponensial (Ulaby dkk., 1983). Kelebihan dari distribusi
gamma ini adalah saat µ = 0 maka
fungsi ini akan berubah menjadi fungsi eksponensial.
Model lain yang juga digunakan untuk memodelkan DSD adalah distribusi
lognormal, yang dapat dituliskan dalam persamaan:
exp
(2.9)
dimana m
adalah rata-rata dari ln(D), σ adalah
deviasi standar dan NT
adalah total
jumlah dari butiran per kubik.
Dalam
studi penjalaran gelombang elektromagnetik dalam medium hujan, model Weibull
yang pertama kali dicetuskan oleh Sekine dan Lind (1982) juga sering digunakan.
Model ini dapat ditulis sebagai berikut:
exp
(2.10)
dimana
D adalah diameter butiran dalam mm
dan η dan σ adalah fungsi dari intensitas presipitasi R dalam mm/h. Konstanta N0
= 1000 m-3, η = 0,95 R0,14 dan σ = 0,26 R0,42.
Model-model
yang dijelaskan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Meskipun demikian, berdasarkan pengukuran-pengukuran yang dilakukan sebelumnya
di beberapa tempat, pada umumnya DSD dengan model distribusi gamma lebih banyak
diterima dan hampir 91% nilai DSD di alam mengikuti fungsi gamma (Mallet dan
Barthes, 2009). Oleh karena itu, di dalam penelitian ini akan digunakan fungsi
gamma untuk memodelkan DSD.
2.2.2
Metode Untuk Menghitung Parameter Gamma RDSD
Ada
beberapa metode yang telah dikembangkan untuk menghitung parameter RDSD seperti
metode maximum likelihood (Mallet dan
Barthes, 2008; Lam, dkk., 2014), metode L-Moment
(Hosking dan Wallis, 1997; Kliche dkk., 2008), dan Metode Momen (Waldvogel,
1974; Smith 1982; Ulbrich, 1983; Kozu and Nakamura, 1991; Tokay and Short,
1996; Ulbrich dan Atlas, 1998). Mengingat kesederhanaannya, penelitian ini
menggunakan metode momen.
Metode
momen dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa semua parameter hujan merupakan
fungsi DSD yang secara umum dapat ditulis sebagai berikut:
(2.8)
Persamaan
2.7 sering disebut dengan momen RDSD dan disimbolkan dengan M. Dalam bentuk fungsi gamma Persamaan
2.7 dapat ditulis sebagai (Kozu dan Nakamura, 1991):
(2.9)
Secara fisis x bisa bernilai 0 hingga 6, dimana masing-masing akan memberikan
parameter hujan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Momen dan fungsi ukuran
distribusi gamma
Momen
|
Hubungannya dengan
besaran fisika
|
Fungsi Gamma
|
0
|
Jumlah total
butiran
|
|
1
|
-
|
|
2
|
Luas prmukaan total
|
|
3
|
Total volume
butiran (LWC)
|
|
4
|
Intensitas curah
hujan (R)
|
|
5
|
-
|
|
6
|
Radar reflectivity
|
|
Dalam aplikasi radar meteorologi,
,
, dan
dan lebih
sering digunakan karena momen tersebut langsung berhubungan dengan parameter
yang diberikan oleh radar yaitu radar
reflectivity. Dengan menggunakan
,
, dan
, parameter-parameter gamma DSD didapat sebagai
berikut:
(2.10)
dengan
,
(2.11)
, (2.12)
, (2.13)
dimana
adalah
massa-berat diameter rata-rata, dan G adalah momen ke tiga dari normalisasi
spectrum massa oleh
. Selain dengan Persamaan (2.12),
juga dapat
dihitung dengan Persamaan (2.5).
dimana
( ) adalah massa-berat diameter rata-rata, dan adalah
momen
ke tiga dari normalisasi spektrum massa oleh
Selain
dengan
Persamaan
(2.12), NT juga dapat dihitung dengan
Persamaan (2.5).
2.2.3 Kecepatan Jatuh Butiran
Pada
pendekatan pertama, ukuran minimum dari jatuhnya butiran hujan tergantung pada
kecepatan vertikal angin di dalam awan. Awan yang memiliki kecepatan aliran ke
atas kecil dari 50 cm/s, maka butiran dengan diameter 0.2 mm (kecepatan
terminal 70 cm/s) dan lebih besar dari itu akan jatuh. Hujan yang biasanya
memiliki butiran berdiameter 0.1 mm disebut dengan drizzle (gerimis) dan dihasilkan oleh lapisan bawah pada awan.
Diameter maksimum yang dapat dimiliki butiran hujan adalah sekitar 7 mm (Adewale,
2006), karena butiran hujan yang lebih besar akan pecah selama proses jatuh
(Gambar 2.3).
Gambar 2.3
|
Bentuk Butiran Hujan Ketika Jatuh
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Drop(liquid))
|
Kecepatan
terminal adalah kecepatan maksimum vertikal yang dapat dicapai oleh butiran,
dengan kata lain kecepatan terminal ialah kecepatan ketika gaya gravitasi
sebanding dengan gaya gesek. Gunn dan Kinzer (1949) telah memperkenalkan sebuah
grafik dengan data kecepatan terminal sebagai fungsi dari massa butiran yang
telah terukur dalam laboratorium (Gambar 2.4).
Gambar 2.4
|
Kecepatan Terminal Butiran Air Pada Tekanan Tetap 76 mmHg,
Suhu 20°C Dan Kelembaban 50 Persen Sebagai Fungsi Massa
(Sumber: Gunn dan Kinzer, 1949)
|
Hubungan
antara ukuran dan kecepatan jatuh butiran hujan telah diperoleh menggunakan
prinsip-prinsip aerodinamik (Spilhaus, 1947). Butiran hujan yang tidak memiliki
pergerakan relativ terhadap udara, dianggap sebagai sebuah bola karena tegangan
permukaannya. Butiran berbentuk bola ini memiliki jari-jari r, sedangkan
tegangan permukaan adalah T, dan tekanan dilambangkan sebagai p dimana:
(2.17)
Saat
butiran jatuh melewati udara, suatu tekanan meningkat di permukaanya, tekanan
paling besar terletak di bagian bawah butiran, seperti Gambar (2.5).
Ketidakseimbangan gesekan dan kelebihan tekanan di bagian bawah akan diimbangi
oleh berat dari butiran ketika jatuh secara tetap.
Gambar 2.5
|
Distribusi Tekanan Disekitar Butiran Jatuh
(Sumber: Spilhaus 1948)
|
Ketika
butiran mencapai kecepatan jatuh terminalnya ( v) maka gaya berat butiran diseimbangi oleh gaya gesek udara
(Spilhaus, 1948).
(2.18)
dimana
adalah massa
jenis air,
adalah
percepatan gravitasi dan
merupakan koefisien
gesek oleh butiran terhadap udara dengan rasio b/a. Kemudian
(2.16)
Penelitian lebih lanjut mengenai kecepatan jatuh butiran dilakukan oleh Atlas
dkk. (1973) dengan memodifikasi persamaan yang diberikan oleh Gunn dan Kinzer
(1949). Mereka mendapatkan hubungan kecepatan jatuh dan ukuran butiran sebagai
berikut:
(2.17)
dimana
adalah
kecepatan jatuh butiran hujan (m/s) dan
adalah
diameter butiran (mm). Maitra dan Gibbins (1995) mengusulkan persamaan lain
sebagai berikut:
(2.18)
Brandeks
dkk. (2002) memfiting secara polynomial hasil pengukuran laboratorium dari Gunn
dan Kinzer (1949) dan Pruppacher dan Pitter (1971) untuk mendapatkan Persamaan:
(2.19)
Kecepatan
terminal hujan yang diitung dari beberapa referensi bersama dengan pengukuran
laboratorium Gunn dan Kinzer (1949) ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
Persamaan-persamaan diatas adalah untuk
kondisi di permukaan air laut. Untuk kecepatan terminal pada ketinggian
tertentu maka perlu dilakukan koreksi dengan mengalikannya dengan
, dimana
dan
masing-masing
adalah densitas udara pada ketinggian tertentu dan diatas permukaan laut.
jadi tahu prosesnya makasih
ReplyDeleteserat gandum