Saturday, March 25, 2017

Proses Terbentuknya Hujan

Proses Terbentuknya Hujan

 

 Proses yang terjadi dalam pembentukan hujan dikenal dengan siklus  hidrologi. Siklus hidrologi adalah suatu proses dimana air diangkut dari  permukaan bumi ke atmosfer (udara), dan kembali lagi ke permukaan bumi. Sinar matahari menyebabkan air yang ada di permukaan bumi berubah wujud menjadi uap melalui proses evaporasi.  Uap ini nantinya bergerak naik, kemudian akibat perbedaan temperatur di atmosfer dari panas menjadi dingin maka air akan terbentuk akibat kondensasi dari uap menjadi cairan. Bila temperatur berada di bawah titik beku ( freezing point) maka kristal-kristal es yang akan terbentuk (Neiburger dkk., 1995).
            Tetesan air kecil tumbuh melalui kondensasi dan tumbukan dengan tetesan air lainnya lalu terbawa oleh gerakan udara turbulen sampai pada kondisi yang cukup besar menjadi butir-butir air. Apabila jumlah butir air sudah cukup banyak dan berat (dipengaruhi oleh gravitasi) maka butiran akan turun ke permukaan bumi dan proses turunnya butiran air ini disebut dengan hujan.  Bila temperature udara turun sampai di bawah 0ºC, maka butiran air akan berubah menjadi salju (Salby, 2012).
            Hujan terbentuk karena proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di permukaan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga. Hujan biasanya terjadi karena pendinginan suhu udara atau penambahan uap air ke udara.
           
Proses pembentukan hujan dapat berupa proses tumbukan atau proses kristal es (proses bergeron). Pada proses tumbukan (Gambar 2.1), butiran-butiran kecil awalnya menumbuk butiran-butiran kecil lainnya dan kemudian bergabung menjadi satu butiran. Penggabungan ini menyebabkan massa butiran tadi bertambah sehingga semakin besar dan membesar sampai ukuran butiran ini cukup kuat untuk melawan gaya pergerakan angin ke atas. Pembentukan butiran hujan dengan proses tumbukan ini biasanya hanya terjadi pada awan hangat. Awan hangat berada pada daerah tropis di dekat garis khatulistiwa.

           
            Gambar 2.1 Proses penggabungan pada butiran hujan (Sumber:http://www.physics.by u.edu/faculty/christensen/physics%20137/Figures/Precipitation/Collision-Coalesce nce%20Process.htm).
           
           
Proses lainnya yaitu proses kristal es (Gambar 2.2), yang biasa terjadi pada awan dingin. Awan dingin biasa berada pada daerah subtropis atau daerah dengan lintang menengah sampai dengan lintang tinggi. Suhu di dalam awan dingin biasanya di bawah tingkat beku air (< 0 oC) karena itu molekul air yang ada pada awan ini sangat dingin. Pada proses ini terjadi interaksi antara kristal es dengan molekul air yang sangat dingin. Tekanan jenuh es pada suhu di bawah 0 oC lebih kecil daripada air dalam fase cair, karena itu kristal es mengikat molekul air lebih kuat. Hal ini menyebabkan evaporasi pada air dari butiran awan yang sangat dingin dan mengendap menjadi kristal es. Kristal es ini akan semakin membesar dan membesar sampai cukup berat untuk jatuh. Ketika jatuh kristal es ini akan menumbuk butiran-butiran air yang sangat dingin di jalurnya. Proses tumbukan ini membuat butiran air yang sangat dingin bergabung menjadi kristal es yang lebih besar.
           
           
               
            molekul air yang sangat dingin. Tekanan jenuh es pada suhu di bawah 0 oC lebih
            kecil daripada air dalam fase cair, karena itu kristal es mengikat molekul air lebih
            kuat. Hal ini menyebabkan evaporasi pada air dari butiran awan yang sangat
            dingin dan mengendap menjadi kristal es. Kristal es ini akan semakin membesar
            dan membesar sampai cukup berat untuk jatuh. Ketika jatuh kristal es ini akan
            menumbuk butiran-butiran air yang sangat dingin di jalurnya. Proses tumbukan
            ini membuat butiran air yang sangat dingin bergabung menjadi kristal es yang
            lebih besar.
           
            Gambar 2.2 Proses pembentukan kristal es akibat pengendapan uap air (Sumber:
            http://www.physics.byu.edu/faculty/christensen/physics%20137/Figures/Precipitati
            on/Ice-Crystal%20Process.htm)
           
           
           

 2.2 Mikrofisika Hujan

 

            2.2.1 Raindrop Size Distribution ( RDSD)  
             
             Raindrop Size Distribution (DSD)   adalah distribusi butiran hujan pada ukuran tertentu per satuan volume sampel atau daerah pengamatan dalam rentang waktu tertentu (Jameson dan Kostinski, 2001). Pengukuran DSD dilakukan pertama kali oleh Marshall dan Palmer (1948) dengan mengamati distribusi butiran hujan yang jatuh pada suatu kertas dyed filter. Pengukuran terbaru dilakukan dengan menggunakan berbagai sensor, salah satunya adalah sensor optik. Dewasa ini DSD   memiliki banyak perhatian karena bentuk distribusinya yang merefleksikan dasar-dasar mikrofisika   hujan sehingga pemodelannya dapat dimanfaatkan dalam banyak aplikasi.
            DSD telah dimodelkan dengan berbagai pemodelan. Model DSD pertama kali diajukan oleh Laws dan Parsons (1943). Mereka mengemukakan sebuah hubungan antara median diameter DSD  dengan R  sebagai berikut:
                                                                                              (2.4)
dimana R adalah intensitas curah hujan dalam mm/h.
            Kemudian dilanjutkan lagi oleh Marshall dan Palmer (1948) yang memodelkan DSD dengan distribusi eksponensial dengan bentuk:
                                                  exp                                       (2.5) dimana N( D) adalah fungsi DSD (mm-1 m-3) atau konsentrasi butiran per
            diameter interval ΔD (mm), D adalah diameter butiran hujan (mm),  adalah parameter intercept bernilai 8000 mm-1 m-3, Λ adalah parameter slope (mm-1) . Λ cenderung meningkat sebanding dengan meningkatnya intensitas curah hujan, ditulis dengan persamaan:
                                                                                                       (2.6)
            Feingfold dan Levin (1986) mengatakan bahwa model ekponensial mempunyai banyak kekurangan. Kekurangan dari persamaan distribusi di atas adalah kecenderungan untuk menaksir terlalu tinggi jumlah butiran-butiran ukuran kecil (< 2 mm). Ulbrich (1983) telah membuat suatu pendekatan yang lebih akurat untuk memodelkan DSD, dengan menganggap DSD merupakan suatu fungsi distribusi gamma. Distribusi gamma ini memiliki tiga parameter distribusi dituliskan sebagai berikut:
                                           exp                                       (2.7a)
Persamaan (2.4a) dapat dihubungkan dengan jumlah total butiran  sebagai berikut:
                                       exp                                   (2.7b)
                                                                                               (2.8)
dimana N0 dan NT adalah parameter intercept dengan satuan mm-1-µ m-3 dan m-3 berturut-turut. Dalam penelitian ini digunakan Persamaan (2.4b) karena parameter NT  tidak dipengaruhi oleh parameter bentuk ( shape) µ berbeda dengan N0 yang merupakan fungsi µ yang terlihat dengan jelas dari satuannya.  merupakan parameter slope dari distribusi dalam satuan mm-1. Persamaan gamma dapat menjelaskan semua bentuk RDSD dibandingkan fungsi eksponensial (Ulaby dkk., 1983). Kelebihan dari distribusi gamma ini adalah saat µ = 0 maka fungsi ini akan berubah menjadi fungsi eksponensial.
Model lain yang juga digunakan untuk memodelkan DSD adalah distribusi lognormal, yang dapat dituliskan dalam persamaan:
                                            exp                         (2.9)
 dimana m adalah rata-rata dari ln(D), σ adalah deviasi standar dan NT adalah total
 jumlah dari butiran per kubik.
            Dalam studi penjalaran gelombang elektromagnetik dalam medium hujan, model Weibull yang pertama kali dicetuskan oleh Sekine dan Lind (1982) juga sering digunakan. Model ini dapat ditulis sebagai berikut:
                                       exp                              (2.10)
            dimana D adalah diameter butiran dalam mm dan η dan σ adalah fungsi dari intensitas presipitasi R dalam mm/h. Konstanta N0 = 1000 m-3, η = 0,95 R0,14 dan σ = 0,26 R0,42.
            Model-model yang dijelaskan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Meskipun demikian, berdasarkan pengukuran-pengukuran yang dilakukan sebelumnya di beberapa tempat, pada umumnya DSD dengan model distribusi gamma lebih banyak diterima dan hampir 91% nilai DSD di alam mengikuti fungsi gamma (Mallet dan Barthes, 2009). Oleh karena itu, di dalam penelitian ini akan digunakan fungsi gamma untuk memodelkan DSD.
           
 2.2.2 Metode Untuk Menghitung Parameter Gamma RDSD
             
            Ada beberapa metode yang telah dikembangkan untuk menghitung parameter RDSD seperti metode maximum likelihood (Mallet dan Barthes, 2008; Lam, dkk., 2014), metode L-Moment (Hosking dan Wallis, 1997; Kliche dkk., 2008), dan Metode Momen (Waldvogel, 1974; Smith 1982; Ulbrich, 1983; Kozu and Nakamura, 1991; Tokay and Short, 1996; Ulbrich dan Atlas, 1998). Mengingat kesederhanaannya, penelitian ini menggunakan metode momen.
            Metode momen dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa semua parameter hujan merupakan fungsi DSD yang secara umum dapat ditulis sebagai berikut:
                                                                                         (2.8)
           
            Persamaan 2.7 sering disebut dengan momen RDSD dan disimbolkan dengan M. Dalam bentuk fungsi gamma Persamaan 2.7 dapat ditulis sebagai (Kozu dan Nakamura, 1991):
                                                                                               (2.9)
            Secara fisis x bisa bernilai 0 hingga 6, dimana masing-masing akan memberikan parameter hujan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1.

           
Tabel 2.1 Momen dan fungsi ukuran distribusi gamma
Momen
Hubungannya dengan besaran fisika
Fungsi Gamma
0
Jumlah total butiran
1
-
2
Luas prmukaan total
3
Total volume butiran (LWC)
4
Intensitas curah hujan (R)
5
-
6
Radar reflectivity

            Dalam aplikasi radar meteorologi, , , dan  dan lebih sering digunakan karena momen tersebut langsung berhubungan dengan parameter yang diberikan oleh radar yaitu radar reflectivity. Dengan menggunakan , , dan , parameter-parameter gamma DSD didapat sebagai berikut:
                                                                                           (2.10)
dengan
                                                            ,                                            (2.11)
                                                          ,                                      (2.12)
                                                        ,                                 (2.13)
dimana  adalah massa-berat diameter rata-rata, dan G adalah momen ke tiga dari normalisasi spectrum massa oleh . Selain dengan Persamaan (2.12),  juga dapat dihitung dengan Persamaan (2.5).

            dimana ( ) adalah massa-berat diameter rata-rata, dan adalah
            momen ke tiga dari normalisasi spektrum massa oleh
            Selain dengan
            Persamaan (2.12), NT juga dapat dihitung dengan Persamaan (2.5).
           

 2.2.3 Kecepatan Jatuh Butiran

 

            Pada pendekatan pertama, ukuran minimum dari jatuhnya butiran hujan tergantung pada kecepatan vertikal angin di dalam awan. Awan yang memiliki kecepatan aliran ke atas kecil dari 50 cm/s, maka butiran dengan diameter 0.2 mm (kecepatan terminal 70 cm/s) dan lebih besar dari itu akan jatuh. Hujan yang biasanya memiliki butiran berdiameter 0.1 mm disebut dengan drizzle (gerimis) dan dihasilkan oleh lapisan bawah pada awan. Diameter maksimum yang dapat dimiliki butiran hujan adalah sekitar 7 mm (Adewale, 2006), karena butiran hujan yang lebih besar akan pecah selama proses jatuh (Gambar 2.3).
           

Gambar 2.3
Bentuk Butiran Hujan Ketika Jatuh
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Drop(liquid))


             
           
             
            Kecepatan terminal adalah kecepatan maksimum vertikal yang dapat dicapai oleh butiran, dengan kata lain kecepatan terminal ialah kecepatan ketika gaya gravitasi sebanding dengan gaya gesek. Gunn dan Kinzer (1949) telah memperkenalkan sebuah grafik dengan data kecepatan terminal sebagai fungsi dari massa butiran yang telah terukur dalam laboratorium (Gambar 2.4).
Gambar 2.4
Kecepatan Terminal Butiran Air Pada Tekanan Tetap 76 mmHg,
Suhu 20°C Dan Kelembaban 50 Persen Sebagai Fungsi Massa
(Sumber: Gunn dan Kinzer, 1949)
           
            Hubungan antara ukuran dan kecepatan jatuh butiran hujan telah diperoleh menggunakan prinsip-prinsip aerodinamik (Spilhaus, 1947). Butiran hujan yang tidak memiliki pergerakan relativ terhadap udara, dianggap sebagai sebuah bola karena tegangan permukaannya. Butiran berbentuk bola ini memiliki jari-jari r, sedangkan tegangan permukaan adalah T, dan tekanan dilambangkan sebagai p dimana:
                                                                                                          (2.17)
           
            Saat butiran jatuh melewati udara, suatu tekanan meningkat di permukaanya, tekanan paling besar terletak di bagian bawah butiran, seperti Gambar (2.5). Ketidakseimbangan gesekan dan kelebihan tekanan di bagian bawah akan diimbangi oleh berat dari butiran ketika jatuh secara tetap.
           
Gambar 2.5
Distribusi Tekanan Disekitar Butiran Jatuh
(Sumber: Spilhaus 1948)

            Ketika butiran mencapai kecepatan jatuh terminalnya ( v) maka gaya berat butiran diseimbangi oleh gaya gesek udara (Spilhaus, 1948).
                                                                                   (2.18)
dimana  adalah massa jenis air,  adalah percepatan gravitasi dan  merupakan koefisien gesek oleh butiran terhadap udara dengan rasio b/a. Kemudian
                                                                                                       (2.16)
           
Penelitian lebih lanjut mengenai kecepatan jatuh butiran dilakukan oleh Atlas dkk. (1973) dengan memodifikasi persamaan yang diberikan oleh Gunn dan Kinzer (1949). Mereka mendapatkan hubungan kecepatan jatuh dan ukuran butiran sebagai berikut:
                                                                             (2.17)
dimana  adalah kecepatan jatuh butiran hujan (m/s) dan  adalah diameter butiran (mm). Maitra dan Gibbins (1995) mengusulkan persamaan lain sebagai berikut:
                                                       (2.18)
Brandeks dkk. (2002) memfiting secara polynomial hasil pengukuran laboratorium dari Gunn dan Kinzer (1949) dan Pruppacher dan Pitter (1971) untuk mendapatkan Persamaan:
        (2.19)
Kecepatan terminal hujan yang diitung dari beberapa referensi bersama dengan pengukuran laboratorium Gunn dan Kinzer (1949) ditunjukkan oleh Gambar 2.2.
      Persamaan-persamaan diatas adalah untuk kondisi di permukaan air laut. Untuk kecepatan terminal pada ketinggian tertentu maka perlu dilakukan koreksi dengan mengalikannya dengan , dimana  dan  masing-masing adalah densitas udara pada ketinggian tertentu dan diatas permukaan laut.

1 comment: