Jerat Globalisasi Dibalik Narasi
World Class University
(Mencari Bentuk Pendidikan Kelas
Dunia)
Maaf saya juga dapat dari web sebelah
semoga bermanfaat
Pengantar
Mahasiswa
Muslim mana yang tidak menginginkan menempuh studi di sebuah universitas kelas
dunia? Dan dosen Muslim mana yang tidak bercita-cita memiliki sebuah lingkungan
akademis yang kualitasnya kelas dunia? Ya, slogan world class university
atau research university dalam satu dekade ini semakin santer kita
dengar. Setiap perguruan tinggi di manapun di belahan dunia ini akhirnya
bercita-cita menjadi satu diantara sekian banyak world class university.
Namun
kondisi pendidikan tinggi di dunia Muslim sangatlah miris, dalam artikel dari
MIT Technology Review Pakistan (Februari 2016) yang berjudul The Dark Age
of Muslim World dibeberkan fakta bahwa 1,6 miliar Muslim di dunia
berkontribusi sangat kecil untuk pengetahuan dunia. Komunitas Muslim global –
yang membentuk mayoritas penduduk dari 57 negara dan mencakup hampir setiap
negara di dunia – ternyata hanya memiliki tiga pemenang Nobel dalam sejarah
penghargaan bergengsi ini. Jumlah perguruan tinggi dari negara-negara anggota
OKI (Organisasi Kerjasama Islam) hanya berada di peringkat 500 dunia atau
sedikit lebih baik dari itu.
Nyaris
semua perguruan tinggi di dunia Muslim tidak mendapat peringkat tinggi di
berbagai jenis sistem peringkat universitas global. Pada edisi 2014-15 QS World
University Rankings, tidak terdapat satupun universitas dari dunia Islam masuk
ke peringkat 100 dunia, dan di antara top 400 hanya 17 peringkat (11
berada di antara top 300 dan 400). Demikian pula, hasil terbaru the Times
Higher Education World University Rankings 2016 hanya 10 perguruan tinggi
dari dunia Muslim berada di peringkat 400 dunia (lima dari mereka di antara top
300 dan 400). Hal inilah yang membuat berkumandangnya seruan berulang untuk
meningkatkan peringkat universitas di dunia Muslim agar menjadi universitas
‘kelas dunia’.
Tulisan
ini akan membahas isu ini pada dua bagian, bagian pertama mencoba mengulas ada
apa di balik narasi World Class University (WCU) dan bagian kedua akan
membahas bagaimana visi politik Islam memformulakan pendidikan kelas dunia di
bawah payung Khilafah Islam.
Jebakan
Narasi Globalisasi
Argumen
yang sering mengemuka untuk menjadi World Class University (WCU) adalah
agar dapat bersaing dengan kampus-kampus kelas dunia dan sekaligus dapat
menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing dengan lulusan dari negara-negara
maju di dunia internasional. Argumen-argumen tersebut dipakai karena melihat
kenyataan mutakhir akibat dari globalisasi dalam berbagai sendi kehidupan
manusia. Pertama, globalisasi dalam bidang ekonomi yang mewujud dalam praktik
ekonomi pasar bebas. Kedua, globalisasi dalam bidang budaya yang mewujud dalam
bentuk masuknya budaya asing ke dunia Islam. Ketiga, globalisasi tenaga kerja
sebagai akibat dari praktik ekonomi pasar bebas. Keempat, globalisasi bidang
pendidikan dengan adanya pendirian lembaga pendidikan di banyak negara
berkembang dan beasiswa antar-negara.
Globalisasi
ini juga membuat negara-negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas
dirinya sejajar dengan negara-negara maju dilihat dari human development index
(HDI), program for international student assessment (PISA), dan lainnya.
Dari sinilah nilai-nilai kompetisi ditabur dan tumbuh subur, terlebih ketika dipupuk
oleh inferioritas negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan. Pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, kekhawatiran tersebut juga telah memunculkan
gagasan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI), untuk dapat menyiapkan
siswa-siswi yang nantinya akan dapat bersaing di dunia internasional. [i]
Namun
Edi Subhan mengkritik keras para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia
yang pro WCU namun belum mampu mengemukakan secara jelas apa definisi dan
konsep universitas berskala internasional itu, kecuali selalu berkiblat pada
konsep penilaian dan pengakuan yang berskala internasional. Dari sini nampak
jelas pemerintah dunia Islam hanya “latah” menerapkan konsep ini tanpa basis
ideologi yang jelas, dan terjebak pada narasi tanpa orisinalitas yang belum
tentu sesuai dengan jati diri negerinya.
Secara
ideologis arus internasionalisasi kampus ini juga menunjukkan kepongahan narasi
besar globalisasi dan modernitas. Saat klaim modern menunjukkan keterbukaan dan
toleransi, di sisi lain justru terdapat upaya besar-besaran untuk memaksakan
satu standar kebudayaan. Herbert Marcuse menyebutnya sebagai fenomena “One-Dimensional
Man”, yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama,
yakni sistem kapitalis melalui pendidikan, media dan lainnya.
Industri
Globo-Capitalism VS Deindustrialisasi Dunia Islam
Jenjang
pendidikan tinggi adalah jenjang puncak yang paling dekat relasinya dengan
dunia industri. Karena itu biasanya produktivitas riset/ penelitian selalu
mendapat stimulasi dari kebutuhan dunia industri yang membutuhkan inovasi
tinggi. Karena itu masuk akal universitas-universitas di dunia Islam susah
menembus ranking top 100 dunia karena nyaris semua negeri Islam mengalami
de-industrialisasi secara besar-besaran, sementara dunia Barat melewati fase
industrialisasi 150 tahun yang lalu. Padahal syarat sebuah Negara dikatakan
mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi diantaranya jika mampu membentuk
kemampuan penelitian yang mengarah kepada penyelesaian problem-problem yang
dihadapi Negara serta mampu membentuk sistem industri yang mengaplikasikan
hasil penelitian tersebut.
Di
sisi lain adanya arus WCU selama satu dekade terakhir justru mengekalkan
kondisi deindustrialisasi di dunia Islam karena mengarahkan penelitian di dunia
Islam agar melayani kebutuhan industri globo-capitalism, bukan industri
nasional di negaranya sendiri. Kondisi ini semakin parah dengan miskinnya visi
politik pemimpin Muslim. Sebagai contoh Negara-negara Arab tidak pernah
mengembangkan industri manufaktur, meskipun dalam sektor perminyakan,
dikarenakan keinginan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang ingin mengontrol
penyulingan minyak mentah.
Nalar
kapitalisme sangat kental dalam banyak indikator WCU, dapat dilihat dari
indikator THE misalnya, antara lain research income from industry (per
staf akademik, bobotnya 2,5 persen), public research income/total
research income (bobotnya 0,75 persen), research income (scaled)
(bobotnya 5,25 persen). Kampus di sini layaknya sebuah korporasi yang berupaya
untuk meraup untung dari aktivitas intelektual terutama penelitian untuk dunia
industri global yang jika perlu mengangkangi otoritas negara. Bahkan, basis
penilaian Webometric pada visibilitas web sebuah kampus adalah berdasarkan pada
pandangan “pasar global baru” mengenai informasi akademik, web dianggap
sangat penting sebagai sarana internasionalisasi kampus.
Hal
ini linear dengan arus komodifikasi pendidikan tinggi menjadi industri tersier
yang dipelopori oleh WTO – organisasi perdagangan dunia- dengan
menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier melalui General
Agreement on Trade in Services (GATS), yang mengatur liberalisasi
perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi
dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat,
serta jasa-jasa lainnya.[ii]
Payung kesepakatan GATS/WTO yang sudah diratifikasi tahun 1995 di Marakesh,
telah membuat pendidikan menjadi suatu komoditas, yang lebih memprihatinkan,
pemerintah begitu mudah untuk mengikuti kemauan global, tanpa melihat kemampuan
lokal serta prinsip-prinsip kependidikan dalam konstitusi kita. [iii]
Akibat
desakan WTO untuk ratifikasi GATS tersebut, pemerintah Indonesia kemudian
mengeluarkan Perpres no.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal. Prof. Sofian Effendi sangat menyayangkan keluarnya Perpres tersebut
karena telah memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha yang
terbuka untuk penanaman modal asing bahkan dengan penyertaan modal maksimum 49
persen. Ini jebakan pertama yakni hegemoni kekuatan asing pada sistem
pendidikan di dunia Islam.
Dari
aspek kemandirian terlihat sekali rezim dunia Islam teramat bergantung dan
miskin visi orisinil untuk memajukan pendidikan peradaban mereka sendiri.
Ketika pemerintah dunia Islam berusaha keras ingin menjadi universitas kelas
dunia dengan memenuhi syarat-syarat agar dapat nyantol entah di hasil
pemeringkatan THE, QS, Webometric, SJTU, atau yang lainnya, maka artinya sistem
pendidikan di dunia Islam—praktis telah merunduk di bawah dikte perusahaan
penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing. Jadi makin jelas sekarang,
betapa sebenarnya WCU hanyalah narasi globalisasi murahan yang mencoba
menipu dunia Islam dan menghegemoni sistem pendidikan kita.
Kooptasi
SDM Muslim Terbaik
Saat
satu Negara tidak lagi punya kontrol terhadap arah penelitian dan sistem
pendidikannya, lalu juga tidak memiliki sistem industri nasional yang mandiri,
maka saat itulah Negara akan kehilangan kontrol terhadap SDM nya sendiri. Sudah
terlalu banyak kisah negeri Muslim yang kehilangan kemampuan menghentikan laju braindrain
dari negerinya ke Negara-negara maju. Dalam 50 tahun terakhir, sejumlah besar
intelektual Muslim telah bermigrasi dari dunia Muslim ke negara-negara
industri. Studi memperkirakan jumlahnya hampir 500.000 ini baru dari dunia
Arab, yang meliputi sepertiga dari seluruh diaspora profesional tersebut.
Begitupula dengan Indonesia, sebutlah putra putri terbaik Indonesia; Khoirul
Anwar yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Dia kini bekerja di Nara Institute of
Science and Technology, Jepang. Dia ahli dalam bidang telekomunikasi dam
pemilik paten dalam sistem telekomunikasi 4G yang berbasis Orthogonal
Frequency Division Multiplexing (OFDM). Ada Andrivo Rusydi, 33 tahun, dan
Nelson Tansu. Keduanya adalah pakar teknologi nano. Saat ini Andrivo menjadi
dosen di National University of Singapore, sementara Nelson Tansu
menjadi pengajar di Universitas Lehigh, Amerika Serikat (AS).
Demikianlah
kooptasi sdm Muslim terbaik akhirnya menjadi demikian mudah dilakukan, akibat
absennya visi politik Negara-negara di dunia Islam dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Apalagi jika pendidikan sudah ditetapkan sebagai
bidang usaha terbuka dari modal asing, maka kooptasi SDM oleh asing sangat
mudah dilakukan dengan mem-baratkan hati dan pikiran pemuda Muslim,
menjanjikan masa depan bagi penelitian mereka, serta ‘menjual’ ideology
sekuler, dan nilai-nilai (values) yang seolah identic dengan kemajuan dan
kesejahteraan.
Kritik
Islam
Faktor pertama dari kegagalan mendasar ideologi
Kapitalisme adalah karena ia telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai
komoditas. Akibatnya yang terjadi adalah berkembangnya pragmatisme dalam dunia
pendidikan. Pragmatisme pendidikan tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau
mengedepankan materi, jauh dari tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
memperbaiki kualitas kepribadian. Kalau kita perhatikan dengan seksama, sadar
atau tidak, pendidikan yang dilaksanakan dari tingkat dasar, dan lebih-lebih di
tingkat perguruan tinggi, tampak sekali kecenderungannya lebih berorientasi
pada sesuatu yang bersifat pragmatis. Bahkan banyak perguruan tinggi besar
tidak malu-malu lagi menyatakan dirinya sebagai entrepreneurial university.
Islam sangat mengecam hal ini,
karena di dalam Islam posisi ilmu pengetahuan itu sangatlah mulia. Menjadikan
pendidikan atau ilmu pengetahuan sebagai komoditas, sama saja menghinakan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang
lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.
Kata beliau, jika seseorang mencari
ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk
mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya,
merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta
saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi
Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu
murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah
ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu
dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan
melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di
laut mendoakan si pencari ilmu tersebut.
Faktor
kedua dari kekeliruan mendasar Kapitalisme
adalah, lepas tangannya negara dalam mengelola institusi pendidikan,
mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun sistem industri yang kuat. Negara
dalam pandangan Islam memiliki peran sentral dalam membangun hubungan antara
sistem pendidikan, arah riset/penelitian nasional dan kebutuhan dunia industri.
Peran ini dibangun dalam kerangka negara sebagai pelayan umat. Karena
kepemimpinan negara adalah amanat untuk mengurus orang-orang atau rakyat
yang dipimpin. Rasulullah saw. mengumpamakan pemimpin laksana penggembala
(ra’in). Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
…الإِمَامُ
رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam
itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan
rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad
dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Dalam
hal ini maka adalah menjadi kewajiban negara untuk Negara wajib menyediakan
sistem pendidikan berkualitas dengan fasilitas yang cukup dan dengan gaji yang
cukup bagi semua orang yang bekerja pada sistem ini dengan memberikan subsidi
sehingga biayanya murah bagi masyarakat. Maka Islam melarang keras negara lepas
tangan, apalagi sampai mempersilakan modal asing menanamkan investasinya di
dunia pendidikan kita.
Mengembalikan
Abad Keemasan Islam
Saat ini di abad 21, mayoritas 100
atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Sebagian kecil ada di
Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.
Bagaimana
seandainya pemeringkatan ini jika dilakukan seribu tahun yang lalu?
Maka
universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi berada di
Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan
beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam
paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota
Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda,
India. Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum
ada perguruan tinggi. Di Amerika Serikat apa lagi. Benua itu baru
ditemukan tahun 1492. [iv]
Bayangkan
suatu negeri yang tingkat buta hurufnya 95%! Mengerikan. Tetapi
itulah Eropa abad 9 hingga 12 M. Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia
tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka”
itu! Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca. Di
sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta
yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Kondisi
inilah yang disebut banyak sejarawan sebagai masa kegelapan eropa (the dark
middle ages) yang kemudian memicu revolusi ilmu pengetahuan pada era renaissance
(pencerahan). Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota
Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an,
menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari
dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof). Keinginan seorang muslim
untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini. Karena setiap
muslim mesti mampu membaca Qur’an.
Sejak
lama memang peradaban Barat menjadikan Ilmu pengetahuan itu sebagai privilege
untuk kalangan tertentu saja. Tidak jauh berbeda dengan masa lalunya, peradaban
Barat modern telah menjadikan ilmu pengetahuan, khususnya di tingkat pendidikan
tinggi, hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Sementara itu,
Islam punya cara yang khas dalam menghargai ilmu. Islam
menghargai ilmu, bukan dengan memberinya “bandroll” harga seperti Kapitalisme.
Tapi Islam memuliakan ilmu pengetahuan sebagai saudara kembarnya iman, untuk
tujuan luhur membentuk kepribadian manusia yang punya integritas mulia.
Akibatnya tidak ada keistimewaan atau privilege bagi umat Islam dalam
menuntut ilmu, karena setiap orang punya kewajiban yang sama dalam mencari
ilmu. Yang membedakan adalah ketaqwaannya.
Ideologi
Islam memiliki konsep sistem yang jelas dan komprehensif mencakup seluruh
bidang kehidupan yang akan diterapkan secara sempurna dalam naungan
Khilafah. Ideologi Islam mengatur bagaimana pengelolaan SDA yang benar
yang akan menjadikan kekayaan Negara berlimpah, sehingga mampu mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh ummat serta tidak akan menimbulkan kerusakan.
Dengan kekayaan yang berlimpah ini, Negara akan memberikan pendanaan berbagai
riset, menyediakan fasilitas terbaik untuk kegiatan riset tsb serta memberikan
penghargaan yang tinggi kepada intelektual, sehingga intelektual termotivasi
untuk menghasilkan karya terbaik dan permasalahan bangsa dapat segera
dituntaskan serta kemandirian dapat diwujudkan.
Karena
itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak
perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu
memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh
sebuah universitas dan seperti apa kriteria sebuah universitas kelas dunia itu.
Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat bisa maju karena
meninggalkan agamanya, sedangkan Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami
agamanya.”
Kemajuan
dan kebaikan yang dihadirkan oleh pendidikan tinggi khilafah akan tergambar
antara lain pada sejumlah konsep dan aspek berikut:
- Pendidikan tinggi gratis berkualitas terbaik, tampa diskriminasi
Hal
ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw yang menugasi tawanan perang
Badar satu orangnya mengajarkan 10 anak kaum muslimin baca tulis sebagai
tebusan. Karena merupakan kewajiban negara menjamin akses yang mudah
masuk pendidikan tinggi bagi tiap individu generasi yang memiliki kompetensi
akademik. Semua diberikan negara secara cuma-cuma mulai dari biaya
pendidikan hingga keperluan kehidupan sehari-hari termasuk kebutuhan
pangan,sandang dan hunian yang layak.
Sehubungan
dengan itu, institusi pendidikan tinggi, lembaga pengkajian dan riset milik
negara dikelola di atas prinsip pelayanan bukan komersial. Disamping itu
dari segi jumlah negara bertanggungjawab menyedia secara memadai.
Sehingga
negara wajib menggunakan konsep anggaran bersifat mutlak, yaitu ada atau tidak
ada kekayaan negara yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan tinggi wajib
diadakan negara, berapa pun jumlahnya.
Pengelolaan
kekayaan negara secara benar yakni sesuai ketentuan syari’ah memungkin negara
memiliki kemampuan finansial memadai untuk pembiayaan berbagai urusannya
termasuk pembiayaan penyelenggaran pendidikan tinggi serta riset terkini dan
terbaik.
Walhasil,
keluruhan sistem pendidikan khilafah yang dijalankan berdasarkan syari’at
benar-benar tidak memberi celah sedikitpun bagi diskriminasi akses
pendidikan khususnya pendidikan tinggi, termasuk kesempatan setiap orang
agar memiliki kompetensi akademik yang diperlukan untuk bisa belajar di
pendidikan tinggi.
- Pencetak secara massal intelektual berkarakter mulia.
Kehadiran
sistem pendidikan khilafah, khususnya pendidikan tinggi solusi satu-satunya
bagi krisis identitas intelektual pendidikan tinggi hari ini. Kurikulum
termasuk metode pengajaran yang didesain di atas fondasi aqidah Islam
meniscayakan lahirnya secara massal para pakar dan ahli di berbagai
bidang ilmu yang memiliki cara berfikir dan berperasaan yang benar, memiliki
visi dan misi hidup yang terhormat, berkarakter mulia, yang ilmu dan
keahliannya didedikasikan bagi terwujudnya negara kuat dan terdepan dalam
kebaikan.
- Melahirkan pakar dan ahli yang memadai secara jumlah, kualitas di berbagai bidang.
Pendidikan
tinggi khilafah dan keseluruhan sistem pendidikannya benar-benar solusi
bagi persoalan krisis pakar dan ahli. Kuncinya ada pada penerapan sistem
pendidikan khilafah yang sepenuhnya mengikuti ketentuan syari’at Islam, yang
diterapkan dalam bingkai sistem politik Islam, negara khilafah ‘ala minhajin
nubuwwah.
Khususnya
desain konsep pengelolaan pendidikan tinggi yang bertujuan untuk menghasilkan
para pakar dan ahli diberbagai bidang yang memadai. Bukan untuk
kepentingan pasar akan tetapi agar fungsi negara berjalan normal, baik dalam
hal mewujudkan kemashlahatan publik yakni pemenuhan kebutuhan terhadap pangan,
sandang, hunian, air bersih, transportasi, listrik,migas, hingga
kesehatan, pendidikan dan keamanan. Maupun dalam hal fungsi politik luar
yakni melaksanakan dakwah dan jihad untuk membebaskan dunia dari penjajahan,
kezoliman dan berbagai penderitaan.
Desain
pengelolaan ini meniscayakan lahirnya peneliti, perencana atau konseptor hingga
praktisi yang pakar lagi berkeahlian. Menjawab kebutuhan negara dan kaum
muslimin terhadap mujtahid, ahli strategi perang, hingga guru, dokter dan
pasukan yang tangguh.
- Mengahkhiri pembajakan intelektual, riset dan penjajahan.
Desain
tata kelola pendidikan khususnya pendidikan tinggi berikut kurikulumnya yang
benar; disertai visi dan misi politik negara yang benar pula, yakni politik
dalam negeri berupa penerapan syaraiat Islam secara kaafah bagi terwujudnya
kemashlahatan publik dan politik luar negeri negara berupa dakwa dan jihad
pembebas dunia dari penjahan dan penderitaan; dan pengelolaan industri yang
sesuai syariat dengan berbasis politik industri berat, meniscayaka
khilafah Islam terdepan dalam hal riset, teknologi dan sumber daya manusia,yang
akan mencegah negara masuk dalam perangkap penjajahan yang dirancang melalui
ketertinggalan riset, sain dan teknologi. Lebih dari pada itu, Islam telah
mengharamkan penjajahan apapun bentuk dan kadarnya, sebagaimana ditegaskan Allah
swt dalam Al Quran surat An Nisa: 141, artinya”…Allah sekali-kali tidak akan
memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin”.
- Pilar pewujudkan kesejahteraan.
Keseluruhan
sistem pendidikan khilafah, khususnya pendidikan tinggi yang didedikasikan
untuk berjalannnya fungsi negara secara normal yang diantaranya bagi
keterjaminan pemenuhan kemashlahatan publik, bukan untuk kepentingan pasar dan
komersialisasi riset dan teknologi. Ditambah begitu berlimpahnya sumber daya
alam dan genetik di negeri-negeri muslim. Ini di satu sisi, di sisi lain
penerapan sistem kehidupan Islam secara kaafah, khususnya sistem ekonomi Islam
dan sistem pemerintahan Islam dengan segala aspek politiknya, semua ini
meniscayakan terwujudnya tujuan keberadaan ilmu dan riset, yakni ruh dan
penyejahtera kehidupan.
Tiap
orang mengakses secara mudah kapanpun dan dimanapun: pangan yang halal dan baik
dalam jumlah yang memadai dari aspek kesehatan dan gizi; hunian layak huni dan
syar’i; akses air bersih murah/gratis yang memadai dan kontinu; transportasi
berteknologi terkini namun gratis/murah, aman dan nyaman; listrik yang
murah, dan nyaman (tidak byarpet); migas gratis dan aman dari berbagai
kecelakaan; pendidikan gratis berkualitas terbaik dengan berbagai infrastruktur
berteknologi terkini; pelayanan kesehatan gratis berkualitas, para dokter yang
kompeten dan ahli, obat-obatan dan peralatan kedokteran dari hasil riset
terbaik dan terkini. Di saat bersamaan kelestarian dan kesimbangan alam tetap
terjaga. Sehingga berbagai bencana ekologi yang menjadi bencana paling
mematikan dan merugikan hari ini dapat diakhiri.
Inilah
kebaikan luar biasa pendidikan tinggi di bawah naungan khilafah, The First
Class University yang akan membawa kemajuan dan kemuliaan serta
kesejahteraan bagi dunia. Inilah model pendidikan tinggi dibutuhkan dan
ditunggu dunia kehadirannya. Yang hanya akan terwujud dengan kehadiran
khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karenanya selain kewajiban syariat dan
manivestasi taqwa, khilafah adalah jalan menuju kebangkitan dan kemuliaan.
Allah
swt mengingatkan dalam QS Ali Imran (3): 137,yang artinya, “Sungguh, telah
berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke
(segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul)”. Allahu A’lam.
makasih sudah berbagi info ini
ReplyDeletetepung kentang