PENENTUAN
INDEKS BIAS PADA KACA AKRILIK DAN KACA PRISMA DENGAN MENGGUNAKAN SUDUT BREWSTER
Fadli Nauval, Novia Alvionita
Laboratorium Fisika Lanjut,
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas
Andalas
Email : nauvalfadli46@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menetukan sudut
brewster dari beberapa medium. Sudut
brewster digunakan untuk menghitung indeks bias dari akrilik dan kaca prisma, Jika
cahaya dilewatkan pada kaca aklirik dan prisma maka akan didapatkan cahaya yang
ditransimisikan dan cahaya yang direfleksikan dengan intensitas yang berbeda.
Sudut Brewster terjadi saat sudut antara cahaya pantul dan cahaya yang
dibiaskan berbeda 900, dimana indeks bias literatur
pada kaca akrilik adalah 1,53
dan kaca prisma adalah 1,376.
Dari penelitian yang dilakukan dapat dikatakan penelitian ini berhasil.
Kata Kunci : sudut brewster,refleksi,
refraksi dan crossover
ABSTRACT
This study aims to determine the brewster angle of some
medium. Brewster angle is used to calculate the refractive index of acrylic and
glass prism, If light is passed on acrylic and glass prism it will get
ditransimisikan light and reflected light with different intensities. Brewster
angle occurs when the angle between the light reflected and refracted light 90o
different the
refractive index where literature on acrylic glass is a glass prism is 1.53 and from 1.376. From research
conducted this study can be said to be successful.
Keywords:
brewsterangle, reflection, refraction and crossover
I.
PENDAHULUAN
Polarisasi
adalah proses pembatasan gelombang vektor yang membentuk suatu gelombang
transversal sehingga menjadi satu arah. Tidak seperti interferensi dan difraksi
yang dapat terjadi pda gelombang transversal dan longitudinal, efek polarisasi
hanya dialami oleh gelombang transversal. Cahaya dapat mengalami polarisasi
menunjukkan bahwa cahaya termasuk gelombang transversal. Pada cahaya tidak
terpolarisasi,medan listrik bergetar ke segala arah,tegak lurus arah rambat
gelombang. Setelah mengalami pemantulan atau diteruskan melalui bahan tertentu,
medan listrik terbatasi pada satu arah. Polarisasi dapat terjadi karena
pemantulan pada cermin datar, absorpsi selektif dari bahan polaroid dan bias
kembar oleh kristal.
Arah
bidang getar gelombang tali terpolarisasi adalah searah dengan celah. Polarisasi
cahaya yang dipantulkan oleh permukaan transparan akan maksimum bila sinar
pantul tegak lurus terhadap sinar bias. Sudut datang dan sudut pantul pada saat
polarisasi maksimum disebut sudut Brewster atau sudut polarisasi. Peristiwa
pengkutuban arah getar dari gelombang disebut polarisasi. Karena cahaya adalah
gelombang elektromagnetik dimana mempunyai arah getar yang tegak lurus arah
penjalaran, maka cahaya dapat mengalami polarisasi. Hal ini telah diterangkan
oleh Teori Maxwell mengenai cahaya sebagai gelombang elektromagnetik. Dalam
teorinya Maxwell meramalkan bahwa peristiwa polarisasi cahaya menghasilkan arah
getar yang diambil sebagai vektor medan
listrik.
Hukum
Snellius
adalah rumus matematika yang memberikan hubungan antara sudut datang dan sudut
bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium
isotropik berbeda. Nama hukum ini diambil dari matematikawan Belanda Willebord
Snellius, yang merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga dikenal sebagai
hukum Descrates atau hukum pembiasan. Hukum ini menyebutkan bahwa nisbah sinus
sudut datang dan sudut bias adalah konstan, yang bergantung pada medium.
Perumusan lain yang ekuivalen adalah nisbah sudut datang dan sudut bias sama
dengan nisbah kecepatan cahaya pada kedua medium, yang sama dengan kebalikan
indeks bias.
Hukum
snellius dapat digunakan untuk menghitung besar sudut datang atau sudut bias,
dan dalam eksperimen untuk sudut datang atau sudut bias, dan dalam eksperimen
untuk menghitung indeks bias suatu bahan. Pada tahun 1637, Rene Descarte secara
terpisah menggunakan argument heuristic kekekalan momentum dalam bentuk sinus,
dalam tulisannya Discourse on Method untuk menjelaskan hukum ini. Cahaya
dikatakan memiliki kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat
karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya plenum, substansi
kontinu yang membentuk alam semesta.
Sesuai dengan Hukum Snellius,
(1)
Dengan n adalah indeks bias dari medium dan θ adalah sudut dari
sinar dari normal. Ketika sudut datang sama dengan sudut Brewster, ,
(2)
Dan
karena , , dan
(3)
Subsitusi
untuk sin pada Pers. (2) menghasilkan
(4)
Sehingga,
(5)
Alat
yang dapat dipakai untuk menghasilkan cahaya terpolarisasi bidang dari cahaya
yang tidak terpolarisasi karena hanya komponen cahaya yang paralel dengan sumbu
yang ditransmisikan disebut Polaroid. Fungsi lain dari polaroid adalah dapat
dipakai untuk menentukan apakah cahaya terpolarisasi. Sudut crossover terjadi
pada saat transmisi dan refleksi bertemu atau saling berpotongan.
II.
METODE
Sebelum melakukan penelitian alat-alat diset terlebih
dahulu. Spektrofotometer diletakkan dibagian belakang dengan sudut 1800
dari posisi garis normal. Dua polarisator bundar diposisikan di depan laser.
Meja besi sudut brewster harus diposisikan pada angka nol. Sinar laser diset
sehingga berkasnya terdapat pada sensor cahaya. Sensor gerak melingkar dipasang rotary pada saluran 1 dan 2 pada
interface “Science Workshop 500” dan
sensor cahaya pada saluran A. File “Data Studio” dibuka dengan nama “Brewster”.
Skema di atas merupakan susunan alat untuk menentukan sudut brewster. Saat laser dihidupkan sinarnya dipastikan menembak medium uji (prisma dan akrilik). Ketika menembak medium uji akan ada sinar yang diteruskan dan dipantulkan.
Besarnya intensitas sinar refleksi ditangkap oleh sensor cahaya dan diputar untuk menangkap sinar tersebut seiring berubahnya sudut yang dibentuk oleh medium. Sensor cahaya tersebut harus terhubung dengan program data studio dan
program tersebut membaca besarnya intensitas refleksi. Penelitian ini diulangi untuk medium yang berbeda. Sementara intensitas sinar refraksi didapatkan dari perhitungan.
Lampu diruangan sebaiknya
dimatikan agar hanya cahaya laser yang tertangkap oleh sensor cahaya. Lengan Spektrofotometer
diputar sehingga berkas laser terfokus pada slit sensor cahaya. Lengan tersebut
digerakkan maju-mundur (tepat saat itu klik “Start” pada data studio) dari
laser hingga mendapatkan intensitas maksimum (terlihat pada komputer). Lalu
“Stop” diklik dan lengan diatur keposisi semula serta percobaan diulangi
beberapa kali dan dengan medium yang berbeda.
III.
HASIL DAN DISKUSI
Setelah dilakukannya penelitian, praktikan memperoleh data hasil seperti berikut;
Tabel 1: Intensitas
Refleksi dan Intensitas
Refraksi Pada Kaca
Akrilik
NO
|
SUDUT ()
|
INTENSITAS REFLEKSI
|
INTENSITAS REFRAKSI
|
1
|
7,10
|
11,2
|
88,88
|
2
|
38,40
|
15,8
|
84,2
|
3
|
43,60
|
15,4
|
84
|
4
|
57,70
|
0,8
|
99,2
|
5
|
69,10
|
70,9
|
29,1
|
6
|
80,30
|
54,1
|
45,9
|
Pada tabel 1 didapatkan bahwa perubahan sudut tidak
mempengaruhi besarnya intensitas yang diberikan namun yang dianalisis adalah berapa pun sudut yang terbaca pada
data studio jumlah kedua intensitas (intensitas refleksi dan intensitas
refraksi) besarnya tetap 100 tidak pernah kurang dan maupun lebih, ini berarti
pada medium kaca akrilik kondisi yang terjadi adalah cahaya hanya mengalami
refleksi dan refraksi saja tidak mengalami penyerapan (absorbsi) maupun emisi,
dan ini sesuai dengan hukum yang mendasari penelitian kali ini yaitu Hukum
Snellius. Kemudian untuk nilai indeks bias kaca akrilik yang diperoleh hampir
sama dengan teori, dimana indeks bias yang didapatkan adalah 1,539. Karena
bayangan dari cahaya yang terlihat benar-benar menghilang pada sudut 570.
Berdasarkan
data besar intensitas cahaya yang diteruskan atau yang dipantulkan terhadap
sudut putarnya terlihat pada gambar berikut :
Gambar 1: Grafik Refleksi dan
Refraksi Pada Kaca
Akrilik Terhadap Sudut
Dari grafik
diatas menunjukkan bahwa intensitas refleksi dan refraksi mengalami kesebandingan dimana setiap saat intensitas refleksi besar maka intensitas refraksi kecil dan begitu sebaliknya, karena jumlah kedua intensitas tersebut harus sama dengan intensitas maksimum (100) pada
suatu titik sudut yang sama, lalu kemudian pada grafik 1 memperlihatkan adanya sudut crossover, dimana gabungan grafik refleksi dan refraksi mengalami perpotongan kira-kira pada sudut dan intensitas
cahaya 40, pada
saat itulah sinar yang dipantulkan oleh kaca akrilik menghilang atau buram yang menunjukkan pada bahwa
sudut pantul membentuk sudut atau
tegak lurus. Pada kondisi inilah praktikan dapat memperoleh sudut Brewster dari medium dan kaca akrilik, sehingga tujuan dari penelitian telah tercapai.
Tabel 2:Intensitas
Refleksi dan Intensitas
Refraksi Pada Kaca
Prisma
NO
|
SUDUT ()
|
INTENSITAS REFLEKSI
|
INTENSITAS REFRAKSI
|
1
|
7,10
|
78,8
|
21,2
|
2
|
17,80
|
54,5
|
45,5
|
3
|
46,30
|
0,2
|
99,8
|
4
|
64,90
|
100,4
|
-0,4
|
5
|
70,40
|
63,7
|
36,3
|
6
|
73,10
|
100,4
|
-0,4
|
Pada tabel 2 didapatkan bahwa perubahan sudut tidak mempengaruhi
besarnya intensitas yang diberikan namun yang dianalisis adalah berapa pun sudut yang terbaca pada
data studio jumlah kedua intensitas (intensitas refleksi dan intensitas
refraksi) besarnya tetap 100 tidak pernah kurang dan maupun lebih, ini berarti
pada medium kaca prisma kondisi yang terjadi adalah cahaya hanya mengalami
refleksi dan refraksi saja tidak mengalami penyerapan (absorbsi) maupun emisi,
dan ini sesuai dengan hukum yang mendasari penelitian kali ini yaitu Hukum
Snellius. Kemudian untuk nilai indeks bias kaca prisma yang diperoleh saat
penelitian kurang akurat karena bayangan yang didapatkan tidak buram jika
dibandingkan dengan indeks bias secara lieratur yaitu 1.485 sampai 1.492,
sehingga sulit untuk menemukan sudut brewsternya. Sehingga nilai indeks bias
kaca prisma kurang akurat.
Berdasarkan
data besar intensitas cahaya yang diteruskan atau yang dipantulkan terhadap
sudut putarnya terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2: Grafik Refleksi dan Refraksi Pada Kaca Prisma Terhadap
Sudut
Pada Medium kaca
prisma grafik
yang diperoleh memiliki bentuk fisis yang sama dengan medium kaca akrilik, seperti grafik refleksi dan refraksi memiliki nilai regresi yang sama besar, ini berarti gabungan dari ke-2 grafik tersebut bersifat linear dan pasti memiliki satu titik potong ternyata pada grafik 2 diperoleh sudut crossover yang secara fisis memiliki makna yang sama dengan kaca akrilik yaitu dari titik potong tersebut dapat ditentukan sudut brewsternya sebesar dengan
intensitas 50, sehingga
tujuan dari penelitian untuk medium kaca prisma telah tercapai.
Sudut
Brewster juga dipengaruhi oleh sifat bahan, karena tiap-tiap medium (bahan)
yang kita gunakan berbeda-beda. Jika sudut Brewster semakin besar, maka nilai indeks bias
juga semakin besar, jika sudut brewsternya kecil, maka nilai indeks bias juga
semakin kecil karena hubungan antara sudut sudut brester dengan indeks bias
berbanding lurus .
Hal ini sesuai dengan perumusan Fresnel bahwa semakin besar permitivitas reltif
suatu bahan maka sudut brewster akan semakin besar. Secara teori penelitian ini
sudah sangat akurat.
IV.
Kesimpulan
1.
Sudut Brewster pada medium kaca akrilik secara penelitian berbeda degan literatur, dimana dipengaruhi oleh sinar pantul, dimana dipengaruhi oleh sinar yang diamati, sinar tersebut tidak menghilang malah memudar, intensitas kepudaran sinar tersebut yang membuat praktikan sulit menentukan sudutnya.
2.
Perbedaan
sudut Brewster yang diperoleh
tersebut menyebabkan indeks bias berbeda dengan literatur. Kemudian sudut crossover pada grafik 1 menunjukkan bahwa pada grafik refleksi berpotongan dengan grafik reflaksi, pada kondisi inilah sinar tersebut menghilang karena cahaya yang terpolarisasi.
3.
Sudut Brewster pada medium kaca prisma secara penelitian juga
berbeda dengan literatur, karena sinar yang diamati tidak benar-benar menghilang.
4.
Perbedaan
sudut Brewster yang diperoleh
pada kaca prisma menyebabkan indeksnya berbeda dengan literatur.
5.
Intensitas
refleksi dengan intensitas refraksi tidak memiliki hubungan yang sangat erat, karena bergantung terhadap intensitas maksimum dan titik puncak yang kita pilih
pada data studio.
V.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pratikan mengucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang membantu proses penelitian hingga pembuatan jurnal ini. Kepada kak Novia Alvionita selaku asisten yang
mengarahkan proses penelitian ini dan Inez Almira
dan Sri Rahayu
sebagai rekan kerja dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Indajit, D. 2007. MUDAH DAN AKTIF BELAJAR FISIKA.
Bandung: Grafindo
Muttaqin, Afdhal. 2015. MODUL PRAKTIKUM FISIKA
EKSPERIMEN I . Padang:
Universitas Andalas.
Seri, Intan 2011. Fisika Eksperimen. http://academic.edu/lap.praktikum-fisika-eksperimen/.
diakses pada tanggal 25 Oktober 2015